areefah-cse


SYEIKH AHMAD SURKATI AL-ANSHARI (Pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah)

SYEIKH AHMAD SURKATI AL-ANSHARI (Pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah)
oleh TOKOH INDONESIA pada 14 Juli 2010 jam 16:44

A. HADRAMAUT DAN PENDUDUKNYA
Jazirah Arabia tidak mengenal sebuah suku bangsa yang sangat keras dalam mencari penghidupan dan perdagangan di luar negerinya seperti penduduk Hadramaut (Yaman). Kehidupan kemasyarakatan dan perekonomian di negeri mereka tidak mendukung untuk berkembangnya kehidupan mereka. Hadramaut adalah sebuah daerah yang terletak di Jazirah Arabia selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Negara Oman, dan di sebelah barat berbatasan dengan Negara Yaman (sekarang Hadramaut termasuk bagian Negara Yaman). Daerah Hadramaut adalah daerah yang sangat panas, tidak terdapat tetumbuhan kecuali kurma dan pohon sidr. Akan tetapi pada pantainya yang menjorok ke laut Arab, banyak terdapat pelabuhan yang memudahkan penduduknya bepergian dan melaut mencari rezki di sejumlah Negara, seperti pantai Afrika timur, Mesir, Hijaz (Saudi Arabia), dan Indonesia.
Adapun penduduk Hadramaut, mereka terdiri dari beberapa suku, diantara mereka adalah penduduk kota dan diantara mereka penduduk pedesaan. Penduduk pedesaan bertempat tinggal di pegunungan dan lembah, adapun penduduk kota tinggal di kota-kota.
Ada dua kabilah (suku) yang menonjol dan kekuasaannya berpengaruh di Hadramaut, yaitu kabilah al- Katsir/alkatiri (آل كثير) yang mana kabilah ini mengatur politik Hadramaut, dan mempunyai kekuasaan atas sebagian besar daerah di Hadramaut, dan ibu kota kabilah ini adalah di kota siwun (سيون). Yang kedua adalah kabilah Yafi (يافع) yang berpengaruh di kota sibam (شبام), pelabuhan Aden (عدن), al-Mukalla (المكلا) dan asy-Syahr (الشحر).
Oleh karena taraf pendidikan di Hadramaut (pada waktu itu) tidak terlalu baik, kebodohan menyebar dimana-mana, fanatik kesukuan diantara kabilah sangat kuat, maka hal ini memunculkan persaingan dan ketamakan individu, yang berakibat berkobarnya peperangan antara dua kabilah ini (al-Katsir dan Yafi). Kedua belah kabilah banyak kehilangan anggota keluarga lantaran perang ini sedangkan perang terus berkecamuk diantara keduanya, hingga sebagian dari keduanya bepergian ke luar negeri guna mengumpulkan harta yang memungkinkan mereka untuk membeli persenjataan yang mereka pergunakan untuk menyerang dengannya bangsa mereka sendiri.
Hanya saja hijrah/kepindahan orang-orang Hadramaut ke Indonesia bukan hanya untuk mengumpulkan harta lalu pulang ke negeri mereka untuk berperang.
Al-Ustadz Shalih Abdul Kadir Bakri, salah seorang ahli sejarah Hadramaut yang lahir di Indonesia menyebutkan, bahwa permulaan orang-orang Hadramaut berhijrah ke Jazirah Hindia Timur (Indonesia) pada akhir abad ke 8 M. Mereka lebih dahulu datang ke Indonesia daripada orang-orang Portugis dan Belanda. Dan ia menambahkan dalam kitab karyanya “Tarikh Hadramaut Siyasi” bahwa orang-orang Hadramaut tidak mendapatkan penolakan dari penduduk pribumi Indonesia “yang tulus dan bersih hatinya”. Orang-orang Hadramaut juga menyebarkan dakwah Islam dikalangan penduduk pribumi yang beragama Budha, hingga mereka mampu dengan naluri dagang serta kesabaran dalam bekerja meluaskan perniagaan mereka, maka tumbuhlah perdagangan mereka, kapal-kapal mereka dipenuhi barang perdagangan, dan mereka mampu berhubungan dengan India dan pantai-pantai di jazirah Arabia, hal ini terjadi antara abad 10-15 M. Sebenarnya tujuan orang-orang Hadramaut bukanlah menyebarkan agama Islam, tetapi mencari rezki melalui perdagangan, namun banyak penduduk pribumi masuk Islam melalui mereka, hingga akhirnya Indonesia menjadi negeri berpenduduk Islam. Namun yang demikian itu tidak berarti bahwa orang-orang Hadramaut adalah satu-satunya yang menyebarkan agama Islam di Indonesia, atau yang pertama kali menyebarkannya.
Hijrah orang-orang Hadramaut ke Indonesia, Malaysia dan Singapore terus berlangsung hingga akhir tahun 1930 M, dan jumlah mereka di Indonesia pada tahun 1920 M sekitar 45.000 jiwa, diantara mereka ada dari kabilah al-Katsir, dan diantara mereka ada yang dari kabilah Yafi musuhnya. Akan tetapi permusuhan kedua kabilah ini tidak berlanjut di tempat mereka berhijrah, suasana lingkungan Indonesia berbeda dengan lingkungan Hadramaut, akan tetapi rasa fanatik kesukuan masing-masing kabilah ini masih terdapat pada diri mereka.
Dahulu, ketika seorang penduduk Hadramaut tiba di pelabuhan Batavia (Jakarta), ia akan menjumpai teman-temannya atau karib kerabatnya yang menyambutnya dan memberikan pertolongan berupa harta. Dan mereka akan terus membantunya hingga mandiri dan mengajarinya dasar-dasar membaca dan menulis, dan jadilah pekerjaan berdagang sesuatu yang mudah baginya. Inilah tujuan sejak awal mereka yaitu berdagang bukan lainnya.
Dan oleh karena orang-orang Hadramaut yang berhijrah ini tidak ditemani oleh istri-istri mereka dari Hadramaut, merekapun menikahi penduduk wanita-wanita penduduk Indonesia.

B. JUM’IYYAH KHAIR
Orang-orang Hadramaut ini tidak begitu berkeinginan membangun sekolah-sekolah, atau memasukkan anak-anak mereka ke sekolahan pemerintah. Mereka merasa cukup anak-anak mereka dapat berbicara bahasa Arab dan membaca al-Qur’an. Akan tetapi keadaan ini berubah setelah itu. Pada tahun 1903 M seorang dari Hadramaut yang bernama as-Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syihab salah seorang tokoh terkemuka al-Ba-alwi mendirikan jum’iyyah (yayasan/lembaga) yang bernama “Jum’iyyah Khair”, pusatnya di Batavia. Setelah dua tahun jum’iyyah ini mendirikan sekolahan di Indonesia. Namun hanya sekolah dasar yang mengajarkan dasar-dasar membaca, menulis dan agama.
Adapun al-Ba-alwi (Ba-alwi) sebenarnya asal mereka bukanlah dari Kabilah al-Katsir atau Yafi. Namun nasab mereka bersambung kepada keturunan Rasul dari ahli bait. Mereka menyebutkan dalam kitab-kitab mereka seperti kitab (المشروع الروي) bahwa nenek moyang mereka yaitu Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad bin Ali al-Arifi bin al-Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam al-Husein bin Ali datang ke Hadramaut dari al-Bashrah (Irak) pada tahun 317 H. ia membawa keluarga, pelayan dan hartanya berupa emas dan perak, serta barang-barang mereka yang dibawa oleh 14 unta. Pada awal hijrah, mereka melalui kota Madinah, lalu Makkah lalu Yaman kemudian menetap di Hadramaut. Dan akhirnya jumlah keturunan mereka menjadi besar, sebagian diantara mereka tinggal dibawah kekuasaan al-Katsir, dan yang lain terpencar-pencar ke bebarapa Kabilah di Hadramaut. Di antara keluarga Ba-alwi yang terkemuka adalah keluarga alu asy-Syaikh Abu Bakar (آل الشيخ أبو بكر) ( masuk dalam lingkungan ini kabilah al-Muhdor (الممخضار), al-Idrus (العيدروس), al-Habsyi (الحبشي), dan al-Atthos/alatas (العطاس). Kabilah (marga-marga) ini memiliki keistimewaan dari marga Ba-alwi lainnya. Di Hadramaut mereka memberi julukan mereka sendiri dengan sebutan “ashabul manasib (أصحاب المناصب)”, yang artinya “orang-orang yang memiliki kekuatan spiritual besar/tokoh agama”. Adapun kalangan Ba-alwi yang tidak termasuk dari “ashabul manasib” adalah al-Haddad (الحداد), as-Sakkof/as-Segaf (السقاف), dan al-Masyhur (المشهور), dan al-Kaaf (الكاف) dan Ibnu Syihab (ابن شهاب) dan Ibnu Aqil (ابن عقيل) dan lainnya.
Al-Ba-alwi ini (atau al-Alawiyyun/Alawiyyin) membangun pengaruh spiritual di Hadramaut, sebagaimana muncul dikalangan mereka para ulama dan ahli politik yang memainkan peran penting di Hadramaut dan luar negeri, khususnya di Negara India, Singapore, dan Indonesia. Dan alawiyyun ini membawa kekuasaan spiritual, kemasyarakatan serta taklid ke tempat hijrah, sebagai panutan bagi orang-orang Hadramaut. Maka jadilah mereka mempunyai kekuasaan keagamaan dan keistimewaan-keistimewaan yang dengannya mereka menikmatinya.
Mereka mengharapkan dari lainnya yang bukan dari Ba-alwi untuk memanggilnya dengan sebutan ”sayyid” atau ”Habib”, dan tangan mereka dicium ketika berjabat tangan, sebagaimana tidak diperbolehkan mereka yang bukan dari keturunan Ba-alwi menikahi wanita atau kerabat Ba-alwi.
Akan tetapi terjadi suatu kejadian, dimana seorang pemuda bukan dari Ba-alwi menikahi perempuan Ba-alwi (istilah mereka syarifah), yang demikian itu terjadi di Singapore pada tahun 1905 M ketika seorang pemuda India menikahi salah satu anak perempuan dari keluarga Ba-alwi. Hal ini tidak membuat senang tokoh-tokoh Ba-alwi, yang menentang pernikahan ini dengan keras, yang membuat salah seorang Hadramaut bertanya kepada as-Sayyid Rasyid Ridha[2], yang terkenal dengan majalah al-Manar (Mesir), meminta fatwa tentang sahnya perkawinan ini secara syariat, lalu as-Sayyid Rasyid Ridha berfatwa tentang sahnya perkawinan ini pada juz ke 6 jilid ke 8 Majalah al-Manar (tahun 1905 M, 1323 H).
Fatwa ini menimbulkan penolakan yang keras pada sebagian Alawiyyin, khususnya pada diri as-Sayyid Umar bin Salim al-Athhos yang telah mengeluarkan fatwa haramnya pernikahan syarifah (perempuan keturunan Ba-alwi) dengan seorang lelaki bukan syarif (bukan Ba-alwi). Sekalipun walinya ridha. Maka jadilah keadaannya sebagaimana dahulunya, perempuan Ba-alwi tidak diperbolehkan menikah dengan selain keturunan Ba-alwi.

C. KEDATANGAN SYAIKH AHMAD SURKATI KE INDONESIA
Di Indonesia, Alawiyyun berusaha memperbaiki pendidikan dan sekolahan yang mereka dirikan, merekapun meminta karib kerabat mereka di Hijaz agar mengirim untuk mereka guru dan kepala sekolah bagi sekolahan mereka, untuk mengembangkan pendidikannya. Lalu salah seorang tokoh terkemuka mereka yaitu as-Sayyid Husein bin Muhammad memilih asy-Syaikh Ahmad Muhammad as-Surkati, mereka bersepakat pergi ke pulau Jawa, salah satu pulau besar di Indonesia. Dan pada tahun 1911 M (1329 H) asy-Syaikh Surkati menaiki salah satu kapal yang membawanya dari Jeddah ke Batavia, ibukota Jawa ditemani salah seorang pengurus Jumiyyatul Khair dan sebagian gurunya. Tatkala tiba di Batavia, keluarga Ba-alwi menyambut mereka, dan mereka membuat suatu acara besar untuk menyambut kedatangan mereka.
Asy-Syaikh Ahmad Muhammad Syurkati al-Anshari lahir di Donggala (دنقلة) salah satu propinsi Sudan tahun 1875 M. dan arti dari kata as-Surkati dalam bahasa Sudan adalah memiliki banyak kitab. Tatkala ayahnya meninggal dunia ia pergi ke Hijaz setelah menghafal al-Qur’an. Kemudian tinggal di Madinah al-Munawwarah selama 4 tahun menuntut ilmu di kota tersebut, lalu berpindah menuntut ilmu ke kota Makkah sampai mendapatkan ijazah. Maka jadilah ia guru dan kepala sekolah di sebuah sekolah di Makkah. Ia mengajarkan ilmu-ilmu agama, disamping itu menyampaikan kajian di Masjidil Haram.
Umur Syaikh Surkati tidak lebih dari 37 tahun ketika diminta mengajar di Indonesia pada salah satu Madrasah jumiyatul khair di Jawa. Tatkala tiba di sana, orang-orangpun terpesona padanya, lantaran akhlak mulia, dan adab yang mulia, serta berbagai perangainya seperti kebaikan, sikap wara’nya (hati-hati terjerumus dalam maksiat), ilmunya, kesabaran, sikap tawadhu dan memaafkan. Syaikh Ahmad Surkati menerima tugas sebagai pengawas pendidikan di Madrasah Jumiyyatul khair, mengajar serta mengembangkan kurikulum pendidikannya. Dan pada tahun 1914 M, ia berkeliling ke beberapa kota di Jawa, dan salah satu kota yang ia singgahi adalah kota Solo atau Surakarta, dimana banyak dari orang-orang Arab Hadramaut tinggal berdagang dan berbagai usaha di kota ini.
Syaikh Ahmad Surkati sampai di Solo, ia pun dijamu orang-orang Hadramaut di kota itu, ia singgah di rumah asy-Syaikh Awad bin Sungkar (عوض بن سنكر), kepala masyarakat Arab di kota ini, dan berlangsunglah pembicaraan bersama mereka dalam berbagai masalah kemasyarakatan dan agama. Dalam sebuah pertemuan, salah seorang yang bernama Umar bin Said bin Sungkar (عمر بن سعيد سنكر) bertanya kepada syaikh Ahmad Surkati dengan pertanyaan ini :
“Wahai syaikh Ahmad, apa pendapat anda tentang pernikahan keturunan Ba-alwi dengan selainnya, apakah diperbolehkan secara syariat?”
Syaikh Ahmad pun menjawab akan sahnya pernikahan ini secara agama, akan tetapi pada saat itu ia tidak mengetahui bahwa fatwanya itu akan mengakibatkan pertentangan.

D. MENGUNDURKAN DIRI DARI JUM’IYYAH KHAIR
Syaikh Ahmad Surkati tiba di Batavia dari kunjungannya ke berbagai kota di Jawa, dan fatwanya tentang bolehnya pernikahan antara Ba-alwi dengan bukan Ba-alwi telah didengar di Batavia, ia pun tidak mendapatkan sambutan hangat lagi dari Alawiyyin bahkan ia melihat perubahan sikap dalam hubungan mereka kepadanya, tidak ada lagi penghormatan yang biasa mereka berikan pada diri syaikh, khususnya dari tokoh mereka terkemuka as-Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syihab al-Alawi, pendiri jumiyyatul khair al-alawiyah. Oleh karena itu syaikh Ahmad Surkati mengajukan pengunduran dirinya sebagai pengawas madrasah, setelah dua tahun menjadi pengawas dan guru di madrasah itu. Yang demikian itu terjadi pada tanggal 15 Syawwal 1332 H (6 September 1914 M) yaitu tahun ketika terjadi perang dunia pertama.
Indonesia pada waktu itu dibawah kekuasaan pemerintahan Belanda, sedangkan India, Malaysia dan Singapore dan Hadramaut di bawah kekuasaan Inggris. Adalah Perancis dan Inggris menghormati hak-hak Belanda di Indonesia. Oleh karena di Indonesia tinggal berbagai bangsa yang berbeda maka pemerintahan Belanda menunjuk salah seorang orieantalis Belanda yang bernama Master Hubi sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam permasalahan agama di Indonesia, masyarakat Arab di Indonesia berhubungan dengan pemerintah Belanda melaluinya. Sebagaimana masyarakat Arab mempunyai wakil di majelis rakyat.

E. MENDIRIKAN JUM’IYYAH AL-ISHLAH WAL IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Mulailah syaikh Surkati berpikir untuk kembali ke Makkah bersama teman-temannya yang beliau datangkan untuk membantu beliau mengajar, mereka itu adalah syaikh Abu al-Fadl Ahmad, saudara kandungnya, dan syaikh Ahmad al-Akib as-Sudani, dan syaikh Abu al-Fadl Muhammad, dan syaikh Hasan Hasan Hamid al-Anshari. Namun kemudian ia berpendapat bahwa yang demikian itu termasuk sikap lemah dalam membela al-Haq dan berjihad sebagaimana diajarkan Islam. Maka tatkala beberapa orang pemuka Hadramaut yang bukan dari Ba-alwi menasehati beliau agar beliau menetap di Indonesia untuk menyebarkan ilmu dan pengetahuan, beliau menerimanya. Dan beliau bersepakat bersama mereka untuk mendirikan Jumiyyah, yang mereka beri nama Jum’iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah.
Jum’iyyah al-Irsyad wal Irsyad al-Islamiyyah didirikan pada tahun 1914 M, dengan jasa tiga orang pemuka Hadramaut, syaikh Umar bin Yusuf Manqus (عمر بن يوسف منقوش), wakil masyarakat Arab di Batavia, syaikh Said Masyabi (مشعبي), syaikh Shalih Ubaid bin Abdat (صالح عبيد بن عبدات) , mereka bertigalah yang mengeluarkan harta untuk mendirikan dan menopangnya. Dan pada tahun 1915 M Jum’iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah membangun sekolahannya yang pertama, dimana syaikh Surkati menjadi Kepalanya dengan dibantu oleh para pengajar lainnya yaitu al-Ustadz Muhammad Ubeid al-Hadromi (محمد عبيد الحضرمي) , dan al-Ustadz Ahmad al-Akib (محمد العاقب), dan guru-guru lainnya.
Tidak lama kemudian tersebar berita terbentuknya Jum’iyyah al-Ishlahwal Irsyad al-Islamiyyah oleh masyarakat hingga banyak masyarakat Arab bukan dari Ba-alwi masuk dalam jumiyyah ini. Mereka mendapatkan dalam jumiyyah ini lembaga yang dapat mengungkapkan perasaan mereka akan persamaan yang mereka inginkan, yang menjadi dasar muamalah diantara bangsa Arab di Indonesia.
Mulailah Jum’iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah membangun markaznya pada sebagian kota besar di Jawa. Sebagaimana didirikan pula di markaz itu sekolahan-sekolahan untuk mengajar anak-anak Arab.

F. PERANG PENA
Lalu mulailah perselisihan antara Jum’iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah dan Jumiyyah al-Khair semakin meruncing. Pada tanggal 28 Oktober 1915 salah seorang Arab di Jawa yang menyebut dirinya dengan inisial “Z” menulis sebuah artikel di majalah “Solo-Hindia” yang terbit dengan bahasa Melayu, tentang persamaan diantara kaum muslimin, ia menyebut tentang syaikh Surkati dalam artikel itu dengan tulisan yang tidak pantas, maka syaikh Surkatipun terpaksa membantah makalah itu dengan menujukan risalahnya yang berjudul “Suuratul Jawab” kepada pimred majalah itu, beliau menerangkan dalam makalah beliau itu bagaimana pandangan Islam seputar masalah “sekufu” dalam pernikahan. Dan diantara apa yang ditulis dalam makalah itu adalah berikut ini :
“Sesungguhnya pernikahan diantara kaum muslimin adalah seperti jual beli dan berdagang dari sisi jika telah ditentukan manfaat yang sama-sama didapat berupa mahar, atau harga, dan disetujui oleh yang berkepentingan dan diterima maharnya, maka menjadi sah-lah akadnya, dan dihalalkan dengan akad ini hal-hal yang diambil manfaat dan kesenangannya, dan tidak ada perselihan dalam masalah ini diantara ulama Islam terkemuka, dan masing-masing pihak pelaku akad bebas memilih sebelum akad berlangsung, dan terkadang pemilik barang diwakili oleh walinya atau wakilnya jika ia berakal dan baligh.”
Isi makalah ini membangkitkan bantahan dari as-Sayyid Abdullah Muhammad Dahlan salah seorang guru Jumiyyah al-Khair, ia membantah seputar masalah ”sekufu” dalam agama Islam, sebagaimana ia menerangkan dalam bantahannya itu bahwa nasab/keturunan merupakan salah satu persyaratan “sekufu” dalam pernikahan, berdasarkan ucapan sebagian ulama. Demikian juga as-Sayyid Alawi bin Husein bin Alawi ikut membantah makalah syaikh Surkati itu dengan menulis sebuah tulisan yang berjudul (البرهاني النوراني في دخض مفتريات السناري السوداني), , dan ia meminta dalam tulisannya itu kepada Pemerintah Belanda “mengekang” syaikh Surkati sebagaimana ia menutup dengan sebuah bait (mempertakuti) beliau :
وَإِنْ عَادَتْ العَقْرَبُ عُدْنَا لَهَا وَكَانَتِ النَّعْلُ لَهَا حَاضِرُه
Jika kalajengking kembali (menyerang kami) maka kamipun kembali menyerangnya
Dan pukulan dengan sandal akan didapatinya
Dan pada tahun 1917 M, syaikh Ahmad al-Akib seorang guru di Madrasah al-Irsyad menerbitkan sebuah kitab yang berjudul (فصل الخطاب في تأييد صورة الجواب), dimana judul kitab itu menunjukkan pembelaan terhadap syaikh Surkati melawan risalah-risalah yang ditulis as-Sayyid Abdullah Muhammad Dahlan dan as-Sayyid Alawi bin Husein bin Alawi, dan kitab ini adalah risalah yang panjang lebar, berjumlah sekitar 250 halaman berisi penguatan pendapat syaikh Surkati seputar “sekufu”.
Demikian juga ikut membantah makalah syaikh Surkati, as-Sayyid Alawi bin Thahir al-Haddad, salah seorang ulama Alawiyyin terkemuka, ia mengarang sebuah kitab panjang dengan judul (القول الفصل فيما لبني هاشم وقريش والعرب من الفضل), dan ia menyebut dalam muqadimah kitabnya itu ucapan ini :
“Sebelumnya kami ingin berbicara panjang lebar dalam fitnah yang Iblis menjadi pemenangnya atas sebagian orang Arab yang berada di Jawa, dan pandangannya pun senang dengan terjadinya fitnah itu, dan menjadi mengkilap taringnya, akan tetapi kami tidak menyukai ….lalu kami pun meninggalkannya.
Dan ringkasan apa yang terjadi, bahwasanya sebagian orang yang membenci ahlil bait, dan menegakkan permusuhan, dan mendurhakai terhadap keutamaan dan kedudukan yang diberikan kepada mereka …………
Dan telah muncul sebuah risalah dari imam mereka yang bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Surkati al-Anshari tentang permasalahan seorang yang bertanya tentang “sekufu”, dan ia menamai risalahnya dengan (صورة الجواب), maka ia telah salah dalam risalahnya.”
Inilah sebagian tulisan yang disebutkan as-Sayyid Alawi al-Haddad dalam muqadimah kitabnya, yang kemudian dibantah oleh syaikh Surkati.

G. MENERBITKAN MAJALAH ADZ-DZAKHIIRAH AL-ISLAMIYYAH (الذخيرة الإسلامية)
Maka Alawiyyun merasakan kebutuhan akan sebuah majalah yang dapat menyalurkan aspirasi dan pendapat-pendapat, dan membela keyakinan mereka. Lalu mereka menerbitkan majalah al-Ikbal (الإقبال), di Surabaya sekitar Oktober 1917, dan yang menjadi redakturnya adalah Muhammad Salim Baraja, yang seolah-olah nampak bukan dari Alawiyyin, akan tetapi sebenarnya teman Alawiyyin. Merekapun terus melawan syaikh Surkati dan Jumiyyahnya dengan memuat artikel-artikel di majalah itu. Sebagaimana mereka juga mengajukan dakwaan-dakwaan terhadap al-Irsyad kepada pemerintahan Belanda di Indonesia, akan tetapi hal itu tidak menjadikan pemerintahan Belanda melakukan tindakan terhadap Jumiyyah al-Irsyad.
Dan pada tahun 1923 M, syaikh Surkati berketetapan menerbitkan majalah yang menyebarkan pendapat-pendapatnya dalam permasalahan agama dan hadits-hadits yang tersebar di masyarakat dan bahasan lainnya yang berhubungan dengan Islam. Pada permulaan terbitnya edisi pertama majalah ini, yang diberi nama “Adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah” pada tanggal 13 Agustus 1923 M/1342 M ia mengutarakan tujuan diterbitkannya majalah ini yaitu untuk membela agama dengan kemampuan ilmu beliau. Sebagaimana juga menyerukan kepada kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengganti kebencian, saling membelakangi dan bermusuhan dengan kecintaan, kasih sayang dan bersikap baik, dan mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Hadits), sebagaimana juga beliau tidak lupa menyayangkan tindakan orang-orang yang dianggap beliau sebagai temannya, akan tetapi tatkala orang-orang itu melihat beliau, merekapun melihat dengan pandangan yang penuh kebencian, dan jika beliau memulai mengucapkan salam, merekapun menyambutnya dengan dingin, beliau menambahkan bahwa beliau menulis hal ini tidak lain untuk tujuan menunaikan hak persaudaraan Islam kepada mereka.
Sebagaimana juga beliau menambahkan dalam muqadimah majalahnya itu, sesungguhnya Alawiyyinlah yang mengundangnya ke tanah jawa dengan nama agama, dan mereka telah menanggung biaya besar untuk melaksanakan hal ini, oleh karena itu mereka mempunyai bagian besar dari pahala amal syaikh Surkati di negeri ini, dan bahwasanya tokoh-tokoh Alawiyyin tidak mempercayai dengan sebenar-benarnya terhadap tuduhan yang mereka tujukan kepada syaikh Surkati, dan mereka mengakui dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka akan keutamaan dan kebenaran syaikh Surkati, oleh karena itu syaikh tidak menaruh dalam hatinya dengki dan kebencian walaupun seberat atom atas mereka.[3]
Setelah itu dalam majalahnya syaikh memuat keterangan tentang hadits-hadits palsu dan dhaif. Dan bahasan tentang ini adalah bahasan penting menurut beliau. Karena disana terdapat hadits-hadits palsu yang banyak dipercayai oleh sebagian besar kaum muslimin, dan mereka menganggap hadits-hadis Nabi semuanya shahih, dan karena ada dikalangan tokoh ulama Islam yang menampilkan hadits-hadits dhaif itu, semisal Imam Ghazali dan lainnya. Salah satunya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam mengucapkan :
أُحِبُّ الْعَرَبَ لِثَلاَثٍ، أَنِّي عَرَبِيٌ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ، وَكَلاَمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ
“Aku mencintai orang Arab karena tiga perkara : Saya adalah orang Arab, al-Qur-an berbahasa Arab, dan bahasa ahli surga adalah bahasa Arab”.
Hadits ini menurut syaikh Surkati adalah hadits palsu, karena salah satu periwayat hadits ini yang bernama Muhammad bin Fadl tertuduh sebagai pendusta dan pemalsu hadits-hadits.
Dalam majalah itu juga terdapat rubrik jawaban dan fatwa tentang pertanyaan-pertanyaan yang datang dari para pembaca. Dalam permasalahan talqin (mengajari mengucapkan laa ilaha illallah) terhadap mayyit setelah dikubur, syaikh menjelaskan bahwa amalan ini termasuk bid-ah serta bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, dan seorangpun dari kalangan sahabat nabi atau empat imam madzhab tidak pernah mengamalkan. Dan beliau menjelaskan anggapan perbuatan itu baik oleh sebagian ulama tidak menjadikan bid’ah sebagai sunnah dan tidak pula agama.
Adapun masalah tahlilan dirumah mayit setelah dikubur pada waktu-waktu tertentu untuk membacakan al-Qur’an, dan membaca beberapa macam dzikir maka perbuatan ini adalah diantara bid’ah yang paling buruk, dan para ulama telah bersepakat melarangnya. Adapun tentang bertawassul dengan orang yang telah meninggal, atau sekalipun dengan Rasul shallallahu alaihiwasallam, beristighasah kepada mereka dalam meminta hajat atau menolak kejahatan, sesungguhnya amalan ini menyelisihi sunnah dan merupakan bangunan syaitan yang Islam telah menghancurkannya.[4]

H. BERKUNJUNG KE SURABAYA
Demikianlah, kegiatan syaikh Surkati menjadi redaktur majalah terus berlangsung disamping kegiatannya mengatur madrasah-madrasah al-Irsyad yang semakin bertambah. Dan pada bulan Jumadil Awwal 1342 H (1921 M), syaikh Surkati berkunjung ke Madrasah al-Irsyad di Surabaya. Disana beliau mengadakan beberapa kali musyawarah dengan mereka yang bertanggung jawab pada madrasah itu. Maka merekapun bersepakat mewaqafkan secara khusus untuk mendirikan madrasah[5]. Mulailah mereka mengumpulkan seluruh dana sumbangan, dan sumbangan yang terbesar adalah dari syaikh Rubayyak Mubarak bin Thalib al-Katsiri (ربيع بن طالب الكثيري) salah seorang tokoh masyarakat Hadramaut di Indonesia, ia menyumbang sekitar 15.000 rupiah, lalu kedua asy-Syaikh Utsman al-Amudi (الشيخ عثمان العمودي), lalu syaikh Abu Bakar bin Ahmad Basrahil (الشيخ أبو بكر بن أحمد باشراحيل), lalu syaikh Salim Basmeleh (الشيخ سالم بشميله), lalu syaikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan (الشيخ سالم بن سعد بن نبهان) dan selain mereka.

I. PANDANGAN TERHADAP SYAIKH SURKATI
Al-Ustadz al-Allaamah asy-Syaikh Ahmad al-Akib al-Anshari berkata :
Adapun syaikh Surkati – segala puji bagi Allah – kedudukannya mulia, seluruh temannya cemburu padanya karena mempunyai kedudukan itu, sedangkan ia tidak mempunyai sikap hasad pada siapapun. Adapun dalam masalah dunia, rizkinya cukup, Allah menjadikannya merasa puas dengan yang halal dan baik, sebagaimana hamba-hamba pilihan Allah selalu makan dari yang halal dan baik, ia berpakaian dengan pakaian orang-orang bertaqwa, tetangga rumahnya adalah sebaik-baik tetangga, tidak pernah mengganggunya dan ia tidak pernah mengganggu mereka, wajah beliau terjaga dari meminta-minta kepada selain Allah, kehormatannya suci, dan namanya terkenal dikalangan ahlul haq.
Adapun dari sisi sarana menuju akhirat, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda sebagaimana diriwayatkan Bukhari :
لاَحَسَدَ إِلاَّ ِفي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُُ الْكِتَابَ وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ
“Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal : Seseorang yang diberikan ilmu tentang kitabullah dan mengamalkannya siang malam, dan seseorang yang diberikan harta Allah lalu bersedekah siang dan malam”.
Adapun syaikh Surkati – dengan karunia Allah – termasuk salah seorang yang diberikan ilmu kitabullah, mengamalkannya dan mengajarkan saudara-saudaranya sesama muslim, dan Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadanya dimana Dia kokohkan kakinya untuk mengikuti kebenaran yang diajarkannya, menjadikan hatinya beriman, menghapuskan darinya kebatilan, serta menjadikannya imam bagi orang-orang bertaqwa. Oleh karena itu, tidak ada hal yang mendorong syaikh Surkati mendengki pada seseorang.
Adapun nasab/sisi, sesungguhnya syaikh Surkati telah dikenal oleh para ahli peneliti nasab bahwa ia dari keturunan kaum yang Allah memuji mereka dengan firman-Nya :
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS al-Hasyr : 9)
Beliau keturunan dari kaum yang Nabi bersabda :
الدَّمُ الدَّمُ، الهَدَمُ الهَدَمُ، أَنْتُمْ مِنِّي وَأَناَ مِنْكُمْ أُسَالِمُ مَنْ سَالَمْتُمْ وَأُحَارِبُ مَنْ حَارَبْتُمْ
“Darah dibalas dengan darah, penyerangan dibalas dengan penyerangan, kalian dari golonganku, dan aku dari golongan kalian”, sebagaimana diriwayatkan Jarir dan lainnya.
Dan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda :
لَوْ لاَ الهِجْرَة لَكُنْتُ امْرَاءً مِنَ اْلأَنْصَارِ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا أَوْ شَعْبًا، وَسَلَكَ اْلأَنْصَارُ وَادِيًا أَوْ شَعْبًا لَسَلَكْتَ وَادِيِ اْلأَنْصَارِ وَشَعْبِهَا
“Kalau bukan lantaran hijrah, tentulah aku adalah seorang pemimpin dari Anshar, dan kalaulah manusia melintasi sebuah lembah atau lereng, sedangkan kaum Anshar melewati lembah atau lereng lainnya tentulah aku berjalan bersama Anshar”.
Beliau keturunan dari kaum yang Nabi menjadikan kecintaan terhadap mereka adalah tanda keimanan, dan membenci mereka tanda kemunafikan, sebagaimana dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Nabi bahwasanya beliau bersabda :
آيَةُ اْلإِيْمَانِ حُبُّ اْلأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ اْلأَنْصَارِ
Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan kebencian terhadap mereka adalah tanda kemunafikan”.
Yang demikian itu dikarenakan karunia Allah atas mereka. Al-Qasthalani (القسطلاني), dalam syarah/penjelasan shahih Bukhari : “Sesungguhnya kaum Anshar mendapatkan kedudukan mulia ini lantaran mereka telah teruji dalam pertolongannya terhadap Nabi alaihisshalaatu wassalam. Mereka berusaha membela Nabi, memberikan tempat tinggal baginya dan bagi sahabat-sahabatnya, membantu Nabi dan para sahabatnya dari kalangan muhajirin dengan diri-diri dan harta mereka, serta penunaian kewajiban dari mereka terhadap Nabi dan Muhajirin sebaik-baiknya sekalipun permusuhan akan didapat dari seluruh suku bangsa Arab dan Ajam, maka disanalah cinta terhadap mereka adalah tanda keimanan, kebencian terhadap mereka tanda kemunafikan, sebagai balasan bagi kaum Anshar atas apa yang mereka lakukan, dan balasan itu sesuai dengan amal yang dikerjakan.
Maka jelaslah disini kaum Anshar adalah manusia yang diberi petunjuk Allah untuk berakhlak mulia, dan untuk menolong agama dan al-Haq dengan bimbingan-Nya. Kalau tidak demikian, tentulah Nabi tidak akan memerangi orang yang memerangi mereka, tidak akan berdamai dengan orang yang tidak berdamai dengan mereka, saya mengatakan ini semua, bukanlah lantaran ingin berbuat sesuatu untuk suatu kaum, bukan lantaran pengakuan bahwa kami lebih utama atau termasuk orang yang dekat disisi Allah disebabkan keutamaan dan kedekatan mereka. Bahkan kami mengatakannya tatkala Allah berfirman :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ وَلاَ تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Itu adalah umat yang Telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS al-Baqarah : 141)
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya”. (QS An-Najm : 39)
Dan sebagaimana firman Allah :
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ فَمَن كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلَا يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ إِلَّا مَقْتاً وَلَا يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلَّا خَسَاراً
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”. (QS Faathir : 39)
Maka bagaimanapun keadaannya, orang yang menisbatkan dirinya kepada musa alaihissalam dan orang yang menisbatkan dirinya kepada Fir’aun jika amal perbuatannya sama maka derajatnya adalah sama di sisi Allah, , jika keduanya melakukan amal shalih maka akan masuk surga bersama-sama, sebaliknya jika melakukan amalan yang membinasakan maka akan masuk neraka dan Allah tidak akan mengampuni keduanya. Dan yang paling mulia disisi Allah dari keduanya adalah yang paling bertaqwa, baik orang yang menisbatkan dirinya kepada Fir’aun atau menisbatkan dirinya kepada Musa alaihissalam, dan syaikh Surkati tidak bertopang pada sesuatu nasab kecuali nasab agama yang Allah berjanji untuk mengangkat nasab agama pada hari diletakkan semua nasab.
Dan bersandar pada nasab ilmu yang para Nabi mewariskannya, sebagaimana sabda Nabi :
العُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah para pewaris Nabi”. (HR Abu Daud,Tirmidzi dan lainnya).
Dan bersandar pada nasab ketaqwaan yang telah disebutkan dalam firman Allah :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Alalh adalah orang-orang yang bertaqwa”. (QS al-Hujurat : 13)
Dan bersandar pada nasab al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi :
إِنَّ ِللهِ أَهْلَيْنِ مِنَ النَّاسِ أََهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللهِ وَخَاصَتُهُ
“Sesungguhnya Allah memiliki golongan dari manusia yaitu Ahlul Qur’an yang mengamalkannya”. (HR Ahmad dan Nasai)
Dan syaikh Surkati memiliki semua nasab itu, segala puji hanya milik Allah atas nikmat-Nya, dan puji syukur terus menerus atas karunia-karunia-Nya, yang demikian itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas dan Maha Mengetahui.
Dan bersandar/bertopang pada nasab adalah kebodohan, tidak ada yang berbangga atas nasab kecuali orang yang tidak berakal.
Al-Ustadz Hasan Ahmad[6] berkata :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالمَِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَعَلَى آلِهِمْ وَأَصْحَابِهِمْ أَجْمَعِيْنَ، وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ.
Sesungguhnya mereka yang mendengar nama Ahmad Surkati diantara mereka ada yang terbesit dalam gambarannya bahwa Surkati adalah perusak agama, tidak bermadzhab, mendakwakan ijtihad bagi dirinya sendiri, pengikut Wahabi dan semisalnya. Diantara mereka ada yang menggambarkan ia adalah seorang guru di al-Irsyad, pemimpin dan pendirinya, dan yang lainnya ada yang menggambarkan Surkati adalah seorang dari negara Sudan yang menginginkan persamaan derajat manusia padahal adat yang terjadi berabad-abad dan masa bahwa diantara manusia ada yang berkedudukan tinggi dan ada yang rendah.
Jika aku sendiri ditanya bagaimana pendapatku pribadi tentang sosok al-Ustadz Ahmad bin Muhammad as-Surkati al-Anshari, maka mampu saya katakan dengan terang-terangan dan gamblang bahwa aku menganggapnya seperti ustadz/guru, bahkan guruku yang apabila suatu majelis mengumpulkan saya dengannya, saya akan “menghisap” ilmu dan pengetahuan darinya, dan aku akan mencapai suatu sarana untuk menguraikan akal, dan dapat memetik kaidah-kaidah penting yang memberi manfaatku.
Sesungguhnya jika engkau mendapati akhlak baik dan ilmu dalam diri seseorang, engkau akan dapatkan pengetahuan dan akhlak dalam diri ustadz Ahmad Surkati sama dengan orang itu, namun berbeda dalam nilainya. Jika kita kembalikan pandangan kita kepada keadaan sebelum 30 tahun lalu, keadaan madrasah-madrasah keagamaan (di Indonesia), kita akan dapati perbedaan besar antaranya dengan madrasah-madrasah al-Irsyad dan perbedaannya amat jauh sekali.
Sesungguhnya madrasah-madrasah al-Irsyad pada masa kini (th 1940-an), dikendalikan oleh murid-murid syaikh Surkati atau murid dari murid syaikh Surkati. Madrasah-madrasah itu terus melahirkan keturunan dan anak-anaknya yang amat pantas bagi mereka untuk berbangga. Dan inilah keistimewaan yang jelas nampak, sesungguhnya hal ini adalah buah dari keikhlasan syaikh Surkati ketika menanam benih-benih, dan buah dari kemahirannya dalam menumbuhkan dan membuahkannya.
Sesungguhnya murid-murid syaikh Surkati bukan hanya sekedar menjadi murid, namun bisa menjadi anak syaikh, teman, kawan mengobrol, sahabat bahkan terkadang menjadi lawan yang berani dalam beragumentasi dan berdialog, yang demikian itu terjadi tidak lain karena syaikh Surkati membuka pintu kebebasan membahas dan berdiskusi bagi lawannya. Akan tetapi murid-muridnya memahami benar batasan dalam berdiskusi dengan syaikh, dan hal ini juga merupakan buah dari buah pendidikan yang ditanam atas dasar ikhlas dan hikmah.
Dan jika terdapat salah seorang atau lebih dari murid-murid beliau yang mengingkari kebaikan syaikh atau menjadi seorang atheis, maka terdapat pula pada umat Nabi seorang yang murtad dari ajarannya. Dan sesuatu yang jarang terjadi tidak ada hukum atasnya.
Sesungguhnya syaikh Surkati amat mahir dalam mengajar seseorang dengan cara yang orang itu tidak merasakan dengan caranya bahwa ia sebenarnya telah menjadi muridnya. Dalam diskusi biasa, dan dengan cara yang tidak dirasakan ia menyampaikan ilmu-ilmu dan ajaran dimana mudah bagi seseorang menerima apa yang disampaikan karena kemahirannya, pandai menyusun kata-kata, cakap dalam menggambarkan penyakit serta memberikan obatnya.
Akan tetapi saya adalah muridnya dengan cara yang syaikh Surkati tidak merasa bahwa saya telah menjadikannya sebagai guru. Sebelum saya belajar padanya di Batavia saya kerap kali mengatakan syaikh Surkati adalah guruku dalam surat-surat yang saya kirim padanya, dan saya menyebut diri saya dalam surat itu dengan kata “dari murid anda”. Yang demikian itu saya lakukan karena saya telah bertemu dengannya dihari-hari kunjungannya ke kota Bandung di rumah teman kami yang tercinta yaitu almarhum Muhammad Yunus, dan ketika itu saya membawa kitab Bidaayatul Mujtahid (بداية المجتهد) untuk mempelajari muqadimahnya yang saya menganggapnya sangat penting. Dan pada suatu hari syaikh Surkati bertanya kepadaku : “Mengapa engkau menggunakan kata-kata Ustadz/guru dan kata-kata dari muridmu ? kapan aku menjadi guru bagimu?” Maka jawaban saya pada waktu itu adalah : “Aku belajar Muqadimah Bidaayatul Mujtahid padamu di Bandung”, tidaklah ia mendengar jawabanku hingga langsung berkata : “Oh, iya, lalu ia tertawa”.
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesabaran, kedermawanan, kecerian wajah, dan penghormatannya terhadap tamu, dan keberaniannya dalam kebenaran dan semisal itu, maka bisa kami katakan bahwa al-Ustad Ahmad as-Surkati pantas dijadikan contoh yang baik, jika ia melihat seseorang membangkang dalam suatu urusan maka kesabarannya tidakah hilang, namun justru memberikan wasiat padanya dengan berkata : “Pikirkanlah masalah ini dalam kesempatan lain dengan tenang”. Dengan ungkapan yang keluar dari hati ikhlas ini hasilnya sebagian besar adalah baik, sebagaimana saya sering mendapatinya. Dan saya sendiri merasakan hasil yang baik itu setelah memikirkan permasalahan dalam-dalam di rumah.
Dan tidak mengapa untuk diceritakan tentang bantuannya untuk hal-hal yang penting, sesungguhnya uang yang ia sisakan untuk dirinya sendiri di dompetnya lebih sedikit dari uang yang dihadiahkannya, bahkan saya pernah menyaksikannya sendiri ia membantu dengan segala yang dimilikinya kecuali sejumlah uang untuk ongkos kembali ke Batavia.
Suatu kali ia berkunjung ke kota Bandung, lalu aku ditemani seorang temanku yang baru keluar dari penjara mengunjunginya, lalu ustadz Ahmad Surkati mengajaknya berbicara empat mata, aku ketahui setelah itu bahwa Ustadz memberinya sejumlah uang untuk membantunya.
Dua puluh atau tiga puluh atau lima puluh rupiah, bukanlah jumlah yang besar kalau dibanding dengan seseorang yang memberikan seratus rupiah, akan tetapi yang aku ketahui dari ustadz Ahmad Surkati, yang menjadikannya pantas mendapatkan penghormatan, bahwa bantuannya berupa uang adalah setelah ia berhenti berdagang, yaitu setelah menjadi seorang guru saja, dan kata “seorang guru” pada masa sekarang ini menunjukkan atas “kefakiran dan kemiskinan”, sekalipun tidak setiap orang fakir adalah guru, akan tetapi “setiap guru” umumnya adalah orang yang fakir.
Adapun keceriaan dan penghormatannya terhadap tamu, setiap orang yang pernah bertamu kerumahnya pasti mengetahuinya, terlebih lagi orang asing yang singgah kerumahnya. Jika tiba waktu makan, syaikh Surkati akan meminta seluruh tamunya untuk memulai makan dan mengajak dengan benar-benar untuk makan, bukan hanya sekedar basa-basi. Dan meja hidangan syaikh dipenuhi berbagai macam makanan.
Dan diantara murid syaikh Surkati yang mengambil ilmu padanya tanpa teratur selain saya, adalah almarhum Haji Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah, dan haji Zamzam pendiri Persis (Persatuan Islam), yang mana sekalipun mereka tidak belajar kepada syaikh secara berkala namun al-Ustadz Ahmad Surkatilah yang membuka akal-akal mereka hingga mempunyai keberanian membuang ajaran-ajaran lama, dan menjadilah mereka penjadi pemimpin bagi kelompok yang berjalan di atas al-Qur-an dan sunnah.
Saya sendiri belum pernah bertemu dengan syaikh Ahmad Surkati kecuali saat saya berkunjung ke kota Batavia, dan ketika syaikh berkunjung ke kota Bandung, dan dibeberapa tempat secara kebetulan dan ketika bertamu, oleh kerena itu pengetahuan saya akan diri syaikh amat sedikit, dan apa yang saya jelaskan disini hanyalah sebagian kecil.
Dan dibagian penutupan ini, saya mengharapkan agar jihad yang syaikh Surkati lakukan diterima Allah dengan baik dan diberikan pahala yang tidak terputus, sebagaimana saya mengharapkan bahwa para pengikutnya meneruskan usahanya serta gigih beramal dengan hati yang dipenuhi keikhlasan untuk meninggikan kalimat Allah.
Bangil 20 Juni 1941
A. Hasan
Van Der Plass[7] berkata :
Pertama kali saya bertemu dengan syaikh Ahmad Surkati pada tahun 1927 M, hatiku dipenuhi kegembiraan, karena saya dapat merasakan keikhlasan ustadz ini dan kelapangan jiwanya. Dan bisa dikatakan bahwa sepanjang hidup saya, atau dengan kata lain dalam lima puluh tahun ini, jarang sekali saya bertemu dengan sosok yang mempunyai keikhlasan seperti ustadz ini, pendapat-pendapatnya adil, dan keyakinannya kokoh, serta sangat bertawakkal kepada Allah ta’ala, maka ia pantas dijuluki as-Shadiq/seorang yang benar.
Sesungguhnya saya menganggap syaikh Surkati seperti syaikh dan guru saya sendiri, saya kerap kali pergi menemuinya, berbicara seperti pembicaraan seorang teman kepada temannya, setiap kali saya merasakan kesedihan atau kepenatan lalu saya berdiskusi dengannya maka hilanglah segala kesedihan yang saya rasakan, dan menjadi ringan beban yang saya melihatnya sebagai suatu yang memberatkan. Karena ia tidak mengamalkan sesuatu melainkan untuk mengharap wajah Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, sering kali ia tidak peduli dengan kemaslahatan dirinya dan tidak menganggapnya hal yang besar.
Berulang kali pertemuanku dengannya ketika aku membantunya menerjemahkan kitab karyanya (الآداب القرآنية), kitab ini adalah kitab yang dicetak penerbit Wiltres dengan judul “Zedeleer uit den Qur’an”. Adapun tujuan dari bahasan kitab itu adalah memudahkan para pemuda Islam yang belajar dengan pendidikan barat mendapatkan cahaya petunjuk agar hidup dengan kehidupan yang menyenangkan dan aman. Dengan bersumpah kepada Allah, kalaulah manusia mengikuti petunjuk dalam kitab itu tentulah lingkungan masyarakat menjadi aman dan tenang.
Dan saat ini saya tidak dapat menyembunyikan perasaaan saya dari kesedihan dan kedukaan ketika sampai di telinga saya bahwa guruku ini mengalami kebutaan, sungguh benar, sangat disayangkan sekali bahwa as-Sayyid Ahmad Surkati tidak mampu lagi memandang alam sekitarnya, tidak mampu lagi melakukan kebiasaannya membantu teman-temannya. Benar, sangat disayangkan sekali sosok yang memberikan cahaya dan penjelasan bagi setiap orang yang bertemu dengannya sekarang hidup dalam kegelapan yang pekat.
Akan tetapi saya berkeyakinan dengan keyakinan yang kuat, sekalipun kegelapan yang pekat meliputinya namun hati syaikh Surkati bersinar dengan cahaya iman dan akhlaknya yang baik, serta cahaya tawakkal. Dan saya berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala agar membentangkan bagi syaikh Surkati cahaya petunjuk dan rahmat-Nya, karena cahaya petunjuk dan rahmat-Nya adalah sesuatu yang paling utama dari segala yang ada, walaa haula walaa quwwata illa billah, dan tiada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya.
Van Der Plas
Surabaya 27 April 1941
Organisasi Muhammadiyah dalam sebuah suratnya :
Kantor pusat organisasi Muhammadiyah :
Jogja 3 Jumadil Ula 1360 H/29 Mei 1941

Kepada yang terhormat
Mudir organisasi al-Irsyad di Batavia
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu
Telah sampai surat anda kepada kami nomor 17-1-41 tertanggal 1 April 1941 M. dan kami telah membacanya dengan perhatian. Kami sepakat dengan anda bahwa dalam sejarah al-Ustadz al-Kabiir asy-Syaikh Ahmad as-Surkati al-Anshari terdapat banyak sekali hal yang bisa kita jadikan panutan yang baik, dan ini juga sebagai pengakuan akan keutamaannya, karena memang benar, jasa syaikh Surkati sangat besar atas organisasi Muhammadiyah, dan yang demikian itu sejak syaikh Surkati mengenal almarhum Kyai al-Allaamah Haji Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah. Pada waktu itu syaikh Surkati adalah seorang guru di Madrasah al-Khairiyah di Pekojan Batavia, dan setelah pindah ke al-Irsyad beliau tidak terputus memberikan bantuan dengan meyampaikan pandangan-pandangan yang darinyalah muncul Muhammadiyah, dan memberikan kepadanya bantuan dengan mengumpulkan dana dari anggota al-Irsyad. Dan wajib untuk ditekankan disini bahwasanya di tahun-tahun yang terakhir syaikh Surkati telah menjawab lima permasalahan yang telah disebarkan Kantor pusat ke seluruh ulama Indonesia, permasalahan itu adalah masalah-masalah yang meliputi masalah penting dan berfaedah untuk agama Islam dan masyarakat Islam umumnya pada masa ini, dimana kaum muslimin berusaha meraih kemajuan dengan seluruh macamnya.
Ini adalah inti sari ringkasan dari hubungan kami dengan syaikh Ahmad Surkati al-Anshari seorang tokoh yang berakhlak mulia, dan mempunyai keutamaan yang besar serta ilmu yang tinggi, kami menulisnya dengan sangat ringkas agar masyarakat umum membacanya, karena jika kami meluaskannya maka tidak cukup waktu untuk hal ini, dan sebagai tambahan, sekalipun kami memanjang lebarkan pembicaraan seputar ilmu dan keutamaan syaikh Surkati, kami tidak akan mampu memenuhinya dengan baik.
Oleh karena itu kami memohon kepada Allah subhanahu wata’ala siang dan malam agar Dia memanjangkan umur syaikh dan menambahkan hal-hal yang bermanfaat untuk dipetik dari ilmu dan tanamannya, dan penutup, kami meminta keselamatan untuk kami semua wassalam.
Dari Kantor pusat organisasi Muhammadiyah

J. PERMUSUHAN TERHADAP SYAIKH AHMAD SURKATI
1) Menghina pendidikan dan pengajarnya[8]
Syaikh Surkati berkata :
“Orang-orang bodoh mencela dan mengejek saya lantaran aktif dalam bidang pendidikan, mereka mengatakan pada saya : “Jadilah guru dan engkau tidak lain hanyalah seorang guru”, dengan gaya bahasa ejekan. Andai saja ia melihat, bahwa jika profesi saya mengajar adalah aib maka apakah saya menjadi orang yang hina lantarannya, lalu profesi apa yang paling mulia dari selain mengajar sehingga saya menjadi orang mulia dan terhormat? Baiklah, kalau jawaban-jawaban dari pertanyaan agama yang ditujukan padaku, yang telah saya jawab sesuai pengetahuanku dianggap salah, berlebihan, dan tidak berfaedah, namun dalam hal apa aku (disalahkan) menjadi seorang guru?
Sesungguhnya orang yang menghina profesi pengajar dan mereka yang berkecimpung padanya telah menghina perbuatan yang dimuliakan Allah, dan menganggap kecil perbuatan yang besar di sisi Allah. Sesungguhnya keutamaan yang paling utama adalah aktif dalam memberikan pelajaran terhadap manusia, dan ini adalah perbuatan para Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad bersabda :
إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا
Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar[9]
Nabi bersabda :
خَيْرُكُمْ وَخَيْرُ مَنْ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ الْمُعَلِّمُوْنَ
“Sebaik-baik kalian dan sebaik-baik apa yang disinari matahari adalah para guru”.[10]
Nabi bersabda :
خَيْرُكُمْ وَخَيْرُ مَنْ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ الْمُعَلِّمُوْنَ
“Sebaik-baik kalian dan sebaik-baik yang berjalan di muka bumi adalah para guru”.[11]
Dan Nabi bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Pengajaran merupakan asas bagi setiap kemajuan, dan dasar bagi setiap kemuliaan, dan merupakan sebab pertama bagi setiap kesuksesan di dunia, tidaklah menghina para aktivis pendidikan melainkan orang yang bodoh dan dungu, setiap umat yang memuliakan para guru maka akan mulia dan menjadi pemimpin, dan setiap umat yang menghinakan para guru maka akan hina dan celaka, dan setiap umat yang meremehkan pendidikan terhadap generasinya maka tempat kembalinya adalah penjara kehinaan, lembah yang tenggelam dan hancur, itu adalah sunnatullah pada mahluknya “dan kalian tidak akan mendapati ganti pada sunnah Allah”.
Sesungguhnya diantara dasar makar-makar yang dengannya kaum muslimin jatuh dari kemuliaan, dan dengannya kebodohan menguasai mereka seperti penguasaan api atas kayu bakar yaitu penghinaan/menganggap remeh terhadap para guru dan menganggap murah nilai mereka. Maka dengan sebab inilah jiwa-jiwa lari dari medan pengajaran, orang-orang yang mempunyai kemauan tinggi akan menganggap rendah pada pendidikan dan perbaikan generasi, maka jadilah para pemuda dalam timangan kebodohan, tercukupi dengan kepandiran, dalam usia muda mereka berada dalam samudera tipuan, akhirnya merekapun menjadi musuh-musuh ilmu dan penolong bagi kebodohan. Kemudian hati mereka menjadi hitam, dan siap menerima kebatilan dan khurafat. Maka pasukan Parsi, Yahudi, Romawi pun mempergunakan kesempatan emas ini untuk menyebarkan makar-makar yang merusak dan membunuh bagi persatuan Islam dan ruh Islam pada hati kaum muslimin.
Sungguh mereka (yang mengatakan ini) telah menimpakan tempat pembunuhan – dan Allah tidak akan merahmatinya – dimana mereka kuasa menanamkan racun pada hati para pemimpin umat/para ulama dari kalangan fukoha, ahli hisab maupun nasab yang terhormat untuk meratakan penyakit ini, hingga mereka menjadikan kaum muslimin seperti orang-orang gila yang bermain dengan nisan kuburan mencari rezki dan pekerjaan dari penghuni kubur. Kaum muslimin meminta pertolongan kepada mereka yang mereka duga sebagai wali, dan menganggap segala musibah yang menimpa mereka kepada hal-hal yang berbau khurafat.
Perbuatan mereka itu sampai pada derajat mereka menjadi tidak aktif dan malas, hingga melihat ilmu sebagai kekurangan dan amal sebagai hal sia-sia, mereka bernikmat-nikmat dengan kehinaan, kerendahan dan berbuat kebiadaban. Sehingga turunlah derajat mereka ke tingkat yang terendah.
Lalu umat lainpun mendahului mereka dengan perbuatan dan ilmu mereka, serta memimpin mereka dengan akalnya, dan meninggalkan mereka dalam gelapnya kebodohan dalam keadaan bingung, dan dalam belenggu rantai khurafat mereka diseret.
Dan akhirnya merekapun lupa apa yang terdapat dalam al-Qur’an, lupa terhadap sunnah yang diajarkan pada mereka, lupa terhadap kedudukan mulia mereka dahulu, serta lupa terhadap hukum-hukum yang mencakup bermacam-macam kebahagiaan yang diperintahkan kepada mereka untuk mengikutinya.
Lalu apakah kita terus berjalan dalam kesesatan ini sedangkan kita mengetahuinya dan meninggalkan kitabullah ? apakah kepada kebatilan kita beriman, dan kufur terhadap nikmat Allah? Atau apakah kalian ridha kita menjual agama kita dengan pujian manusia dan menjadikan senang orang-orang yang lalai? Apakah kalian ridha umat meninggal dihadapan kita, sedangkan kita tertawa, bermain-main dan berwangi-wangian? Tidaklah ini melainkan kerendahan dan kehinaan.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa dan kecondongan hawa nafsu, dan kita memohon taufik dari Allah terhadap apa yang telah ditakdirkan, dan kita memohon kesabaran atas apa yang telah menimpa dengan keadilan-Nya, dan kita memohon keteguhan dan ketetapan terhadap apa yang telah ditunjuki-Nya dengan karunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha dekat dan Mengabulkan permohonan.
Ditulis oleh Ahmad Surkati.
2) Berita-berita dusta
Setiap kali musuh-musuh al-Irsyad melihat perkembangannya, hati-hati dan jari-jemari tangan mereka menjadi panas lantaran marah. Khususnya mereka melihat kebanyakan aktivisnya bebas di al-Irsyad. Dahulu para aktivis itu mencium tangan-tangan mereka, menunduk-nunduk, berjalan pelan-pelan di depan mereka, berjalan dibelakang mereka. Sekarang mereka tidak merasakan pengistimewaan-pengistimewaan ini, bahkan lebih jauh dari ini mereka sekarang menjadi para pemimpin lembaga sosial. Dan ini semakin menambah kedengkian dan membangkitkan kemarahan dan hilang akal pada mereka. Akan tetapi apa jalan keluarnya, sedangkan tidak ada sarana menyelesaikannya di kedua tangan? Ya benar, tidak ada jalan lain kecuali memerangi dengan kedustaan, setiap hari mereka menyiarkan kepada masyarakat berita dusta baru dan hikayat yang aneh!! Barangkali dengan ini mereka dapat menghancurkan benteng al-Haq dan mengalahkan tentaranya. Mereka menyebarkan berita di kampung-kampung bahwa al-Ustadz Surkati adalah seorang misionaris, ia selalu memakai salib di dadanya yang tertutup bajunya. Terkadang mereka berkata bahwa rukun Islam dikalangan aktivis al-Irsyad hanya ada tiga. Dan paling buruknya berita dusta yang dibuat mereka bahwa suatu kali mereka menyiarkan bahwa al-Ustadz Surkati berperkara di pengadilan lantaran melakukan perbuatan keji dengan pembantu wanitanya, dan akan diperkarakan secara terbuka pada hari demikian …jam sekian …, dan pada saat itu al-Ustadz Surkati bekerja di madrasah seperti biasanya dan ia tidak mengetahui sedikitpun tentang hal ini. Lalu para penduduk berbondong-bondong mendatangi pengadilan pada suatu waktu untuk menyaksikannya jalannya persidangan terhadap pelaku kejahatan dalam pandangan mereka. Dan untungnya letak madrasah berada disamping gedung pengadilan, lalu teman-teman al-Ustadz Surkati memberitahukan kepadanya akan peristiwa yang terjadi, bahwa khalayak ramai telah memenuhi sekitar pengadilan untuk menyaksikan putusan pengadilan terhadap anda. Maka tertawalah syaikh Surkati dan orang-orang yang besertanya ! dan bukan hanya kedustaan ini saja, bahkan banyak lagi kedustaan lainnya hingga menyebabkan al-Ustad Surkati menyebarkan lembaran berisikan bantahannya.

Dan inilah isi bantahan Syaikh Ahmad Surkati rahimahulullah :
بسم الله الرحمن الرحيم
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS An-Nahl : 116)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS al-Hujurat : 6)
Sebagian para pendusta telah menyiarkan bahwa saya mengatakan Ahlul Bait (keturunan Nabi) telah punah dan tidak tersisa seorangpun dari mereka pada zaman ini. Dan saya berlepas diri dari perkataan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya berkata bahwa saya mengatakan bahwa as-Sayyid Ahmad bin Isa leluhur tokoh alawiyin seorang asli Parsi. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya telah menyiarkan berita bahwa saya mengatakan kepada sebagian manusia, jika salah seorang tokoh alawiyin mengulurkan tangan ingin berjabat tangan denganmu maka janganlah menjabat tangannya kecuali dengan sandal. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya menyiarkan berita bahwa saya berceramah di jum’iyyah al-Irsyad di beberapa majelis, dan saya memperingatkan ketuanya agar tidak memasukkan salah seorangpun dari alawiyyin dalam lembaganya. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, Pendusta lainnya telah menyiarkan berita bahwa saya mengatakan kepada sebagian manusia, jika salah seorang tokoh alawiyin mengulurkan tangan ingin berjabat tangan denganmu maka janganlah menjabat tangannya kecuali dengan sandal. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya menyiarkan berita bahwa saya telah mengarang suatu kitab yang mencela nasab Alawiyyin dan menentangnya. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, Pendusta lainnya telah menyiarkan berita bahwa saya mengatakan kepada sebagian manusia, jika salah seorang tokoh alawiyin mengulurkan tangan ingin berjabat tangan denganmu maka janganlah menjabat tangannya kecuali dengan sandal. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya menyiarkan berita bahwa saya mengatakan bahwa seluruh pendahulu tokoh Alawiyyin adalah syiah Rafidhah, orang-orang fasik. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Pendusta lainnya menyiarkan berita bahwa saya mengumpulkan anak-anak laki dan perempuan di Madrasah dan menikahkan diantara mereka dan memberikan nasehat pernikahan untuk mereka dan semisalnya. Dan saya berlepas diri dari ucapan ini, dan saya mendustakan setiap orang yang menisbatkan ucapan dusta itu pada saya di hari ditegakkannya para saksi, dan laknat Allah atas para pendusta, dan Allah pelindung dari setiap apa yang saya katakan. (ditulis dengan tangan oleh Ahmad Muhammad Surkati)
Dan saya menulis bantahan ini dan menyebarkannya tanpa rasa takut dari kemarahan seseorang dan tidak pula karena menginginkan sesuatu padanya, namun ini merupakan keterangan tentang kenyataan karena permintaan beberapa teman, dan menyusahkan barang dagangan para pendusta dan para pengecut yang berpraduga, barangsiapa mendakwakan apa yang tertulis di atas kepada saya maka hendaklah menghadap dan mencari kejelasan, dan kalau tidak hendaklah ditutup toko-toko para pendusta, dan hendaklah dicelah para pembuat fitnah, sungguh telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan, sesungguhnya kebatilan pasti lenyap dan akibat yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.
K. Mabadi (Asas-asas) al-Irsyad serta maksudnya[12]
  1. Mentauhidkan Allah dengan ketauhidan yang murni jauh dari prasangka kesyirikan yang nyata maupun yang tersembunyi dalam keyakinan, perbuatan dan ucapan.
  2. Menjaga untuk berakhlak Islam, yang garis besarnya adalah : Engkau mencintai saudaramu, seperti mencintai dirimu sendiri, dan menjaga kemuliaan jiwa dan amal dan tidak berendah diri kecuali kepada Allah.
  3. Menjaga amalan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, serta tidak menyepelekannya.
  4. Menghidupkan sunnah nabi yang shahih serta meninggalkan bid’ah dan tidak mengikutinya.
  5. Berkerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
  6. Wajib menganggap kaum muslimin sebagai saudara, tidak ada keutamaan seseorang atas lainnya kecuali dengan ilmu, amal shalih dan ketaqwaan.
  7. Beramar makruf dan nahyi mungkar dengan hikmah dan cara yan baik.
  8. Menyebarkan ilmu agama, ilmu modern dan bahasa Arab.
Banyak aktivis al-Irsyad hanya mencukupkan berintisab (mengatakan saya Irsyadi) tanpa mengamalkannya. Maka kesalahan adalah kesalahan mereka, adapun asasnya adalah benar. Asas-asas ini adalah saksi yang mendukung amalan aktivisnya atau hujjah untuk menyalahkannya, maka hendaknya para aktivis al-Irsyad waspada dari menisbatkan dirinya pada al-Irsyad namun tidak mengamalkan asas-asasnya, sehingga menjadi orang yang dimurkai Allah :
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian Allah, engkau mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan”.(QS ash-Shaff : 3)
Sesungguhnya penisbatan manusia kepada kebenaran tanpa mengamalkannya tidak akan memberi manfaat baginya, bahkan bisa jadi merugikannya.

0 Your Comments: