areefah-cse


Syaikh Ahmad as-Soorkattie al-Anshari

Ahmad Surkati lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, daerah Dongula, Sudan, tahun 1922 H atau 1874 M. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih mempunyai hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari. Karena masih keturunan Jabir bin Abdullah al-Ansari maka Muhammad memakai nama tambahan al-Ansari. Mengacu dari nama ayahnya, secara lengkap nama Ahmad Surkati adalah Syeikh Ahmad Muhammad Surkati al-Ansari.

Sebutan "Surkati" yang berarti "banyak kitab" (Sur menurut bahasa setempat artinya "kitab", dan katti menunnjukkan pengertian "banyak") di belakang nama Syeikh Ahmad, diambil dari sebutan yang dilekatkan pada nenknya yang memperoleh sebutan itu karena sepulangnya dari menuntut ilmu di Mesir ia membawa banyak kitab. Ayah Ahmad Surkati yang keluaran Al-Azhar juga mewarisi sebutan yang sama. Dan seperti neneknya, ayah Ahmad Surkati memiliki pula banyak kitab. Dengan kata lain, Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam.

Ahmad Surkati menamatkan hafalan Al-qur'annya di Masjid al-Qaulid, Dongula, Sudan. Kemudian ayahnya mengirimkannya ke Ma'had Sharqi Nawi, salah satu pesantren di Dongula yang dipimpin oleh ulama besar dan terkenal. Setelah tamat dari ma'had ini ayah Ahmad Surkati berkeinginan mengirimkan putranya ke Al-Azhar supaya dapat meneruskan kedudukan ayahnya dan memperoleh gelar al-Azhari. Akan tetapi, maksud tersebut tidak tercapai karena pemerintah mahdi yang berkuasa saat itu tidak memperkenankan orang sudan untuk pergi ke Mesir.

Akhirnya Ahmad Surkati pada tahun 1314 H atau 1896 M berangkat menuju Makkah untuk meneruskan pendidikannya. Di Makkah ia tidak bermukim lama, sebagaimana keterangan dari Sati Muhammad yang diperoleh dari kawannya di Makkah, ternyata Ahmad Surkati berada di Makkah hanya sementara, karena dia lalu meneruskan perjalanannya ke Madinah.

Di Madinah Ahmad Surkati bermukim sekitar empat tahun. Di Madinah dia memperdalam ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Guru-guru Ahmad Surkati di Madinah di antaranya adalah dua ulama besar ahli hadits asal Maroko, Syeikh Umar Hamdan dan Syeikh Salih. Ia juga belajar Al-Qur'an pada seorang ulama ahli qira'at, yakni Syeikh Muhammad al-Khuyari al-Maghribi; belajar fiqih dari ahli fiqih yang tergolong wara', yaitu Syeikh Ahmad bin al-Haji Ali al-Mahjub dan dari Syeikh Mubarak al-Nismat; serta berguru bahasa Arab dari ahli bahasa yang bernama Syeikh Muhammad al-Barzanji.

Setelah merasa memperoleh bekal ilmu di Madinah, ia kembali menuju Makkah. Di Makkah Ahmad Surkai berguru pada dua orang ulama yang tergolong sangat alim, yakni Syeikh As'ad dan Syeikh Abd al-Rahman, yang tak lain adalah putra Syeikh al-Kabir Ahmad al-Duhan. Gurunya yang lain adalah al-allamah Syeikh Muhammad bin Yusuf al-Kayyath dan Syeikh Shu'aib bin Musa al-Maghribi.

Di Makkah beliau bermukim selama kurang lebih 11 tahun, dan di Makkah pulalah beliau menamatkan pelajaran dari guru-gurunya dan memperoleh gelar al-allamah pada tahun 1326 H dari . Setelah selesai dari pendidikannya beliau mendirikan madrasah swasta di Makkah dan mendapat sambutan baik. Di samping mengajar di madrasahnya, ia juga mengajar secara tetap di Masjid al-Haram.

Dalam upaya memperluas pandangannya, lebih khusus ilmu agama, selama di Makkah ia banyak berhubungan melalui surat dengan ulama Al-Azhar. Aktivitas ini menyebabkan Ahmad Surkati banyak dikenal di kalangan ulama Al-Azhar. Hingga ketika datang utusan dari Jami'at Khair - sebuah organisasi Islam di Indonesia yang anggota dan pengurusnya terdiri dari orang -orang Indonesia keturunan Arab golongan Ba Alawi (keluarga besar Alawi) di Jakarta - untuk mencari guru, ulama Al-Azhar menunjuk namanya dan menganjurkan utusan itu untuk berhubungan langsung dengan Ahmad Surkati di Makkah.

Akhirnya Syeikh Ahmad Surkati menerima tawaran utusan tersebut dan berangkat menuju Hindia Timur (nama Indonesia ketika itu) dengan dua orang kawan dekatnya Syeikh Muhammad abd al-Hamid al-Sudani dan Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi pada tahun 1329 H atau 1911 M.

Kedatangan Surkati di Jakarta disambut gembira dan penuh hormat oleh pengurus dan warga Jami'at Khair. Bahkan salah seorang pemukanya, syeikh Muhammad bin Abd al-Rahman Shihab menyerukan kepada masyarakat Arab untuk menghormati Ahmad Surkati.

Kabar gembira kedatangan Surkati tersebut segera tersebar luas di kalangan umat Islam, khususnya ,masyarakat Arab, hingga Perguruan Jami'at Khair yang waktu itu memiliki tiga buah madrasah, dua di Jakarta (Pekojan dan Krukut) dan satu di Bogor, makin memperoleh perhatian umat Islam.

Ahmad Surkati akhirnya ditugasi untuk memimpin madrasah yang berlokasi di Pekojan. Dia juga dipercaya untuk mengurus pengajaran dan memeriksa madrasah-madrasah yang lain. Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun madrasah-madrasah tersebut maju dan berkembang pesat. Ini terlihat dari banyaknya murid yang masuk, yang tidak hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga datang dari luar Jakarta, termasuk Sumatera.

Kemajuan itu mendorong pengurus Jami'at Khair untuk mendatangkan lagi guru dari luar negeri. Dan melalui perantaraan Ahmad Surkati didatangkanlah empat guru baru, Syeikh Muhammad al-Aqib al-Sudani, Ustadz Abu al-Fadl Muhammad Sati Surkati, Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad Khair al-Ansari al-Sudani dan Syeikh Hasan Hamid al-Ansari al-Sudani.

Namun hubungan harmonis ini tidak berlangsung lama, karena menjelang tahun ketiga, saat berkembang pesatnya usahs-usaha memajukan madrasah-madrasah Jami'at Khair, terjadi perbedaan pendapat yang menyebabkan perselisihan antara Ahmad Surkati dengan pengurus dan tokoh Jami'at Khair.

Perselisihan itu bermula ketika Ahmad Surkati mengadakan perjalanan keliling ke Jawa Tengah, sebagai tamu golongan Arab Alawi, ia singgah di Solo dan diterima di rumah al-Hamid dari keluarga al-Azami. Saat itulah Sa'ad bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan antara gadis keturunan Alawi dengan pria bukan keturunan Alawi menurut syariat Islam. Jawaban Ahmad Surkati singkat dan tegas, "Boleh menurut Syara' yang adil."

Jawaban yang kemudian dikenal sebagai "Fatwa Solo" itu telah mengguncang masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan, danb mereka menuntut pada pengurus Jami'at Khair agar Ahmad Surkati mau mencabut fatwanya.

Permintaan pencabutan fatwa itu dijawab oleh Surkati, bahwa apa yang dia sampaikan benar, baik dilihat dari Al-qur'an maupun hadits.Sehingga dia keberatan ,menarik fatwanya dan ia sama sekali tidak ingin mencampuri urusan mereka mengenai setuju-tidaknya.

Akibat dari pendirian Ahmad Surkati tersebut, maka para pengurus Jami'at Khair menjauhkan diri dari Ahmad Surkati. Dan sejak peristiwa itu pula Ahmad Surkati tidak pernah diundang lagi dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan pengurus Jami'at Khair.

Lebih jauh lagi murid-murid perguruan Jami'at Khair bahkan dilarang menghafal syair Ahmad Surkati yang berjudul Ummahatu al-Akhlak, yang secara rutin dibaca sebelum pelajaran dimulai. Syair ini berbunyi :

"Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan,

dan bukan pula karena karena tumpukan uang atau emas,

tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab,

dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal."_

Akan halnya Surkati, setelah mengetahui tidak lagi disukai bertugas di Jami'at Khair, dia minta mengundurkan diri dari perguruan itu pada tanggal 15 Syawwal 1332 H atau bertepatan dengan 6 September 1914 M. Sesuai dengan perjanjian, mestinya Jami'at Khair harus menyediakan tiket kapal bagi dia dan kawan-kawannya, serta biaya lainnya untuk perjalanan kembali ke Makkah.

Namun, ketika Surkati meminta hal itu, pengurus Jami'at Khair menolak permintaan itu dan menjawab, Jami'at tidak mengenal kewajiban itu kepadamu."

Di saat-saat seperti inilah, para pemuka Masyarakat Arab Jakarta dari golongan non-Alawi, seperti Umar Manggusy serta uda sahabatnya Saleh Ubaid dan Said Salim Masy'abi, menemui Ahmad Surkati dan memintanya untuk tidak kembali ke Makkah. utusan yang dipimpin Umar Manggusy ini mengajak Ahmad Surkati pindah dari Pekojan ke Jati Petamburan dan mempercayakan padanya untuk memimpin madrasah yang akan mereka dirikan.

Ahmad Surkati menerima ajakan dan permintaan itu. Bertepatan dengan 15 Syawwal 1332 H atau 6 September 1914 M secara resmi Ahmad Surkati membuka serta memberi nama madrasah itu Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Bersamaan dengan pembukaan madrasah itu, dia juga menyetujui didirikan jam'iyah yang akan menaunginya. Jam'iyah itu dinamakan "Jam'iyat al-Ishlah wa al-Irsyad al-Arabiyah." (kemudian berganti nama Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).

Jam'iyah ini pada tanggal 11 Agustus 1915 memperoleh pengakuan rechtspersoon (status badan hukum) dari pemerintah Belanda. Namun menurut Husein bin Abdullah bin Aqil bajerei, walau pengakuan badan hukum itu keluar pada 11 Agustus 1915 M tetapi sebagai jam'iyah Al-Irsyad mencatat hari dan tanggal kelahirannya bersamaan dengan dibukanya madrasah Al-Irsyad yang pertama di Jati Petamburan, Jakarta, yaitu pada hari Ahad 15 Syawwal 1332 H atau 6 September 1914 M.

Ahmad Surkati tutup usia pada hari Kamis, 6 September 1943, jam 10.00 pagi, di kediaman beliau Jalan Gang Solan (sekarang Jl. KH. Hasyim Asy'ari no. 25) Jakarta, tepat 29 tahun setelah beliau mendirikan Al-Irsyad. Jenazahnya diantar ke Pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa diatas tanah kuburannya. Ini sesuai amanat beliau sendiri sebelum meninggal.

Sumber: http://www.alirsyad.or.id

Artikel terkait:
Syaikh Ahmad Syurkati Guru dari Tokoh Nusantara 1874-1943
Tentang Asy-Syaikh Ahmad Syurkati di Indonesia

0 Your Comments: